Baca Selengkapnya di : https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/kemerdekaan-hakim-dalam-menjaga-integritas-di-era-masifnya-media-sosial-oleh-drs-h-suharto-m-h-ahmad-maulana-sabbaha-s-h-26-8
Kemerdekaan Hakim dalam Menjaga Integritas di Era Masifnya Media Sosial
Oleh :
Drs. H. Suharto, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jayapura)
Ahmad Maulana Sabbaha, S.H. (CPNS PA Lebong)
Pendahuluan
Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diraih melalui perjuangan panjang para pendiri bangsa bukan hanya melahirkan kebebasan politik, tetapi juga menjadi landasan bagi tumbuhnya sistem hukum yang merdeka dan berdaulat.
Di antara wujud nyata kemerdekaan tersebut adalah hadirnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari intervensi pihak mana pun, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Prinsip ini menegaskan bahwa seorang hakim harus memiliki kemerdekaan dalam memutus perkara berdasarkan hukum, fakta persidangan, serta nurani yang bersih, tanpa dapat ditekan oleh kekuasaan politik, opini publik, ataupun kepentingan tertentu.
Kemerdekaan hakim bukanlah kebebasan tanpa batas. Justru di balik kemerdekaan tersebut tersimpan tanggung jawab besar untuk menjaga integritas, kejujuran, dan martabat peradilan. Hakim adalah wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan di muka bumi, sehingga setiap putusan yang diambil tidak hanya berdampak pada para pihak yang berperkara, tetapi juga menjadi cermin tegaknya hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Oleh karena itu, kemerdekaan hakim harus berjalan seiring dengan kewajiban menjunjung tinggi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang menekankan nilai-nilai dasar seperti independensi, integritas, keadilan, profesionalitas, dan tanggung jawab.
Namun, dinamika zaman menghadirkan tantangan baru. Era digital dengan masifnya penggunaan media sosial telah menciptakan ruang publik yang tak terbatas. Setiap peristiwa hukum dapat dengan cepat menjadi viral, disertai banjir komentar dari
masyarakat, media, bahkan pihak-pihak yang berkepentingan. Kondisi ini bisa menimbulkan tekanan luar biasa bagi hakim. Di satu sisi, media sosial membuka peluang bagi terwujudnya transparansi peradilan dan edukasi hukum bagi masyarakat. Tetapi di sisi lain, arus opini publik yang deras dapat menggiring persepsi dan ekspektasi yang berpotensi mengganggu independensi hakim dalam memutus perkara.
Selain itu, media sosial juga membawa risiko bagi pribadi seorang hakim. Sikap, ucapan, bahkan gaya hidup yang ditampilkan di media sosial dapat menjadi sorotan publik. Padahal, seorang hakim dituntut untuk senantiasa menjaga wibawa, kesederhanaan, dan sikap profesional, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam konteks inilah integritas hakim diuji, apakah mampu menjaga kehormatan diri dan lembaga peradilan, atau justru tergelincir oleh jebakan dunia digital yang penuh dengan distraksi.
Dengan demikian, kemerdekaan hakim dalam menjaga integritas di era masifnya media sosial menjadi isu penting dan relevan untuk dikaji. Artikel ini hadir untuk menelaah bagaimana kemerdekaan hakim dipertahankan, bagaimana integritas harus dijaga, serta bagaimana dampak media sosial dapat dihadapi tanpa mengurangi martabat peradilan.
Semua ini bukan semata demi kepentingan profesi hakim, melainkan juga demi tegaknya keadilan dan terjaganya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sebagai pilar utama negara hukum.
- Hakim dan Kemerdekaannya
Hakim adalah sosok yang menjadi benteng terakhir dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dalam setiap palu yang diketukan, tersimpan tanggung jawab besar yang tidak hanya menyangkut nasib individu yang berperkara, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap tegaknya hukum di negeri ini. Karena itu, hakim harus ditempatkan pada posisi yang merdeka, bebas dari intervensi siapa pun, agar mampu menghadirkan putusan yang berlandaskan hukum, nurani, dan rasa keadilan.
Kemerdekaan hakim di Indonesia merupakan amanat konstitusi yang dijamin secara tegas dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Pernyataan ini tidak sekadar kalimat normatif, tetapi sebuah prinsip fundamental bahwa hakim tidak
boleh tunduk pada kekuasaan eksekutif, legislatif, apalagi tekanan opini publik yang kerap mewarnai setiap proses hukum.
Prinsip tersebut kemudian diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat (2) menegaskan bahwa “Dalam mempertimbangkan dan memutus perkara, hakim wajib bebas dari campur tangan pihak lain di luar kekuasaan kehakiman.” Ketentuan ini menjadi pagar yang memastikan bahwa hakim benar-benar memiliki ruang untuk berpikir jernih, menimbang bukti, dan menjatuhkan putusan secara obyektif tanpa rasa takut ataupun tekanan.
Namun, kemerdekaan hakim tidak berarti kebebasan tanpa batas. Hakim tetap terikat oleh hukum yang berlaku, kode etik profesi, serta nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menekankan prinsip independensi, dengan kalimat: “Hakim harus bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman, atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, dari pihak manapun.” Prinsip ini menegaskan bahwa kemerdekaan hakim tidak dimaksudkan untuk memanjakan ego pribadi, melainkan untuk menjamin keadilan bagi semua pencari keadilan.
Di balik jubah hakim dan palu sidang, seorang hakim membawa tanggung jawab moral dan spiritual yang sangat besar. Putusan yang dijatuhkan bukan hanya sekadar teks hukum, melainkan cerminan nurani yang bersih, logika hukum yang jernih, dan integritas yang tidak tergoyahkan. Hakim yang merdeka ibarat cahaya yang tetap menyala di tengah gelapnya kepentingan politik, tekanan ekonomi, atau derasnya opini publik.
Maka, kemerdekaan hakim harus dipahami sebagai prasyarat mutlak bagi tegaknya negara hukum. Tanpa hakim yang merdeka, keadilan akan mudah diperdagangkan. Tanpa hakim yang berintegritas, hukum akan kehilangan maknanya sebagai panglima. Dan tanpa hakim yang teguh, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga peradilan.
Dengan demikian, menjaga kemerdekaan hakim adalah menjaga kemuliaan hukum itu sendiri. Ia adalah warisan luhur dari para pendiri bangsa yang memimpikan Indonesia sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan. Dan selama hakim berdiri
tegak dengan kemerdekaan dan integritasnya, selama itu pula harapan masyarakat terhadap tegaknya keadilan akan tetap menyala.
- Integritas Hakim
Integritas adalah mahkota seorang hakim. Ia adalah fondasi moral yang menjadi penopang setiap putusan yang dijatuhkan di ruang sidang. Tanpa integritas, keilmuan dan kewenangan yang dimiliki seorang hakim hanya akan menjadi kekosongan belaka, sebab putusan tidak lagi mencerminkan keadilan, melainkan kepentingan sesaat. Karena itu, integritas adalah nafas dan jiwa seorang hakim, yang membedakannya dengan profesi lain di ranah hukum.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menempatkan integritas sebagai prinsip pertama yang harus dijunjung tinggi oleh seorang hakim. Disebutkan “Hakim harus memiliki integritas pribadi yang tinggi, yang meliputi kejujuran, ketulusan, konsistensi, dan keteguhan hati dalam menegakkan hukum.”
Prinsip ini menunjukkan bahwa integritas bukan sekadar sikap formal di ruang sidang, tetapi harus menjadi cerminan dalam kehidupan sehari-hari. Hakim dituntut konsisten, baik ketika sedang memimpin persidangan, menulis putusan, maupun dalam interaksi sosial di luar pengadilan. Sebab, kehormatan lembaga peradilan akan dinilai dari integritas pribadi setiap hakimnya.
Integritas juga terkait erat dengan independensi hakim. Seorang hakim yang berintegritas tidak mudah goyah oleh bujuk rayu, ancaman, atau tekanan, baik dari penguasa, pihak berperkara, maupun opini publik. Dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan bahwa dalam mempertimbangkan dan memutus perkara, hakim wajib bebas dari campur tangan pihak mana pun. Kebebasan ini hanya dapat dipertahankan oleh hakim yang memiliki integritas kuat, karena tanpa integritas, kemerdekaan hakim akan mudah diperdagangkan.
Integritas hakim juga tampak dalam sikap sederhana, arif, dan bijaksana. KEPPH mengingatkan “Hakim harus senantiasa menjaga harkat dan martabatnya, baik di dalam maupun di luar pengadilan.” Hal ini berarti bahwa integritas bukan hanya tercermin dalam teks putusan, melainkan juga dalam gaya hidup, tutur kata, dan perilaku sehari-hari. Seorang hakim yang berintegritas tidak akan membiarkan dirinya larut dalam gaya hidup berlebihan atau sikap yang mencederai martabat peradilan.
Integritas juga berhubungan dengan tanggung jawab moral dan spiritual. Hakim sadar bahwa setiap putusan yang dijatuhkan akan dipertanggungjawabkan tidak hanya di hadapan hukum dan masyarakat, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, integritas menjadi pengikat nurani agar hakim tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya.
Lebih dari itu, integritas hakim adalah pilar yang menjaga kepercayaan publik. Masyarakat akan menaruh hormat kepada lembaga peradilan apabila yakin bahwa hakim yang memutus perkara adalah pribadi yang jujur, adil, dan berkomitmen pada kebenaran. Sebaliknya, bila integritas hakim diragukan, maka runtuhlah wibawa pengadilan, bahkan bisa menggoyahkan kepercayaan terhadap hukum itu sendiri.
Dengan demikian, integritas hakim bukan hanya sekadar tuntutan kode etik, melainkan syarat mutlak bagi tegaknya keadilan. Ia adalah cahaya yang menerangi ruang sidang, mengarahkan palu hakim agar tidak salah ketuk, dan memastikan hukum benar- benar berpihak pada kebenaran. Integritas adalah harga diri seorang hakim, dan selama integritas itu dijaga, selama itu pula hukum akan tetap menjadi panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, integritas hakim menjadi benteng moral dalam menghadapi derasnya arus informasi dan opini publik terutama yang bersumber dari media sosial.
- Dampak Media Sosial Bagi Hakim
Media sosial pada era modern telah menjelma menjadi ruang publik yang begitu luas, di mana setiap orang dapat bersuara, berbagi informasi, bahkan membentuk opini. Bagi masyarakat umum, media sosial adalah wadah ekspresi. Namun bagi seorang hakim, media sosial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi membuka peluang besar untuk menghadirkan transparansi dan kedekatan dengan masyarakat, tetapi di sisi lain dapat menjadi jebakan yang mengancam integritas dan wibawa peradilan.
Di sisi positif, media sosial dapat menjadi sarana untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Melalui akun resmi pengadilan, masyarakat dapat mengakses informasi sidang, putusan, maupun kebijakan dengan cepat dan transparan. Hal ini sejalan dengan tuntutan era keterbukaan informasi publik, di mana kecepatan dan
kejelasan informasi menjadi kunci kepercayaan. Dengan cara ini, hakim dan lembaga peradilan dapat tampil lebih dekat dan humanis di mata masyarakat.
Selain itu, media sosial juga bisa dijadikan sarana edukasi hukum. Hakim, meski tidak secara langsung mengomentari perkara tertentu, dapat berperan sebagai figur publik yang mendorong literasi hukum, menanamkan kesadaran akan pentingnya keadilan, dan memberikan inspirasi moral bagi generasi muda. Dengan memanfaatkan media sosial secara bijak, hakim turut menjadi agen perubahan yang memperkuat budaya hukum masyarakat.
Namun demikian, sisi negatif media sosial tidak bisa diabaikan. Fenomena viralitas dan derasnya arus opini publik seringkali menekan independensi hakim. Perkara tertentu bisa menjadi trending topic, dibicarakan jutaan orang, lalu memunculkan harapan atau bahkan desakan agar hakim memutus sesuai dengan kehendak mayoritas, bukan dengan pertimbangan hukum yang objektif. Tekanan semacam ini dapat menggerus prinsip independensi hakim sebagaimana dijamin oleh Pasal 24 UUD 1945 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, media sosial juga membuka ruang bagi terjadinya pelanggaran etik. Unggahan pribadi seorang hakim yang bersifat provokatif, menyinggung politik praktis, atau menampilkan gaya hidup berlebihan, dapat mencoreng kehormatan lembaga peradilan. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dengan tegas menyatakan: “Hakim harus senantiasa menjaga harkat dan martabatnya, baik di dalam maupun di luar pengadilan.” Artinya, perilaku hakim di media sosial pun harus tetap mencerminkan sikap sederhana, berwibawa, dan penuh tanggung jawab.
Lebih jauh, media sosial juga rawan digunakan untuk menyebarkan kabar bohong atau fitnah. Hakim yang namanya terseret dalam pusaran informasi palsu bisa kehilangan kepercayaan publik meski fakta sebenarnya berbeda. Dalam situasi seperti ini, integritas dan kehormatan hakim benar-benar diuji.
Dengan demikian, media sosial membawa dampak ganda bagi hakim. Ia bisa menjadi jembatan yang menghubungkan lembaga peradilan dengan masyarakat melalui transparansi dan edukasi, tetapi sekaligus menjadi tantangan besar yang mengancam independensi dan etika profesi. Oleh karena itu, hakim dituntut bijak dan berhati-hati
dalam memanfaatkan media sosial, agar kemerdekaan dan integritas tetap terjaga, dan wibawa peradilan tidak pernah pudar.
Dari ulasan tersebut di atas dapat diambil intisari bahwa kemerdekaan hakim dalam menjaga integritas di era masifnya media sosial merupakan sebuah tantangan sekaligus peluang. Hakim dituntut tetap teguh pada prinsip independensi, integritas, dan kode etik meski dihadapkan pada derasnya arus opini publik. Media sosial dapat dimanfaatkan sebagai sarana transparansi, edukasi, dan penguatan kepercayaan publik, namun juga menyimpan resiko besar jika tidak bijak menggunakannya.